AJARAN HINDU DHARMA TENTANG KETUHANAN
Para sejarawan membagi sejarah Hindu menjadi tiga zaman yaitu:
1. Zaman Weda
2. Zaman
Brahmana
3. Zaman
Upanisad
Dalam tiap-tiap priode ini memiliki konsep-konsep
keberagamaan yang berbeda seperti konsep ketuhanan, ritual-ritual, dan juga
pemikiran-pemikiran mereka yang semakin lama semakin berkembang.
Zaman ini dinamakan weda karena kitab suci mereka
adalah kitab Weda yang disampaikan Tuhan kepada para Rsi. Pada waktu ini kitab
Weda yang menjadi pegangan umat Hindu yang mendominasi bagi kehidupan mereka,
maka pada zaman ini disebut dengan Zaman Weda.
Di zaman Weda ini umat Hindu masih memiliki
kepercayaan animisme dan dinamisme yang mereka konsepkan sebagai Dewa, karena
hal ini adalah awal dari agama Hindu yang masih terkontaminasi dengan
kepercayaan-kepercayaan terdahulu mereka.[2]
Umat Hindu di zaman ini mereka memiliki banyak
Dewa, akan tetapi mereka tidak menyembah kepada semua Dewa melainkan kepada
dewa yang mereka butuhkan saja. [3]Contoh
: seorang petani, maka ia akan menyembah Dewa hujan agar tanamannya tidak kekeringan,
dan juga ia menyembah Dewa matahari, badai, karena agar tanaman-tanamannya
tidak dirusak.
Keunikan pada zaman ini adalah mereka juga
menyembah kepada roh jahat dengan maksud agar mereka agar tidak marah dan
merusak.
Pada zaman yang kedua yaitu zaman Brahmana, kata
Brahmana ini adalah kasta tertinggi yang ada di agama Hindu yaitu kaum pendeta,
hanya merekalah yang diperkenankan mempelajari kitab Weda sedangakan
kasta-kasta lain tidak boleh. Di zaman ini kaum Brahmana sangat berperan
penting dalam acara ritual keagamaan seperti ritual korban, pada ritual
tersebut seseorang yang ingin berkorban haruslah dengan kaum Brahmana, karena
ia adalah sebagai jembatan antara manusia dengan Tuhan.
Di zaman ini baru muncul konsep “Trimurti”. Yang
mana trimurti tersebut menjelaskan tentang peran-peran Tuhan yang maha kuasa.
Pada konsep tersebut Tuhan terbagi menjadi tiga yaitu:
1. Dewa Brahman
adalah memiliki peran sebagai pencipta, segala sesuatu yang ada di muka bumi
ini tidak lain dari ciptaan Dewa Brahman.
2. Dewa Wisnu
adalah Dewa yang berperan sebagai pemelihara/pelindung alam.
3. Dewa Siwa
adalah Dewa yang berperan sebagai pelebur alam.
Ketiga peran tersebut yang dinamai “Trimurti”. Pada
masa ini Tuhan tidak lagi berperan sebagai yang maha kuasa, karena di masa ini
Tuhan dipaksa untuk mengabulkan permohonan-permohonan hambanya, dengan cara
korban. Semakin besar korban yang diberikan maka semakain tidak berdayanya
Tuhan.[4]
Pada zaman Brahmana tersebut terjadilah konflik
atas ketidak setujuan adanya sistem kasta, yang mana hanya kaum Brahmana saja
yang dapat mempelajari kitab suci Weda, dan konflik tersebut di dasari pula
dengan ketidak setujuan kepada kaum Brahmana yang merauk keuntungan setiap kali
diadakannya ritual korban, karena yang ingin melaksanakan korban harus membayar
uang kepada kaum Brahmana. Dari situlah muncul konflik yang kemudian beralih ke
zaman Upanisad.
Pada zaman Upanisad ini sudah banyak sekali
perbedaan-perbedaan yang menonjol, seperti semua umat Hindu sudah
dapat mempelajari kitab Weda tanpa harus berkasta Brahmana, ritual-ritual
korban, dan juga pada zaman ini umat Hindu telah memiliki perkembangan terutama
dari pemikiran mereka yang semakin berkembang.
Perkembangan Filsafat Hindu yang memunculkan pada
era ini yang menimbulkan banyak sekali perubahan pada umat Hindu.[5]
Sad Darsana adalah Filsafat Hindu yang terdiri dari
enam dasar tentang kebenaran yaitu:
1. Filsafat
Samkhya
2. Filsafat Yoga
3. Filsafat
Mimamsa
4. Filsafat
Nyaya
5. Filsafat
Vaisiseka
6. Filsafat
Vedanta
Tuhan umat Hindu di Indonesia sering kali disebut
dengan “Sang Hyang Widhi Wasa” yang berarti “yang maha kuasa” yang telah
menciptakan alam dan seisinya.
Hindu di Indonesia mempertahankan prinsip-prinsip
Hinduisme dan Buddhaisme, sehingga dewa-dewa yang mereka sembah tidak lain
hanya berpusat pada Trimurti/ di Indonesia disebut dengan Trisakti yang
mencakup Dewa Brahman, Wisnu, dan Siwa.
Umat Hindu mereka sering kali disebut sebagai
politeisme, karena menyembah banyak dewa, akan tetapi sesungguhnya mereka
bukanlah politeisme lebih tepatnya panteisme yaitu menyembah banyak dewa tetapi
ada salah satu yang dibesarkan.
Definisi tuhan dan dewa menurut umat Hindu itu
berbeda Tuhan/Sang Hyang Widhi Wasa adalah Tuhan yang maha esa, Tuhan sang
pencipta, dan Tuhan yang tiada bandingnya, sedangkan dewa yang dimaksud umat
Hindu itu adalah bagian-bagian dari Tuhan Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa, maka
dari itu mereka pun menyembahnya karena dewa-dewa tersebut adalah jelmaan dari
Tuhan yang maha esa.
b. TRIMURTI
Konsep Trimurti ini baru muncul setelah umat Hindu
memiliki perkembangan pemikiran yang disebutkan oleh sejarawan pada zaman
Brahmana, Trimurti adalah tiga kekuatan Brahman yang terdiri dari :
1. Brahman,
adalah Tuhan yang berfungsi sebagai pencipta alam, yang disebut dalam Bahasa
sansekerta “Utpatti”
2. Wisnu, adalah
Tuhan yang berfungsi sebagi pemelihara, yang disebut dalam Bahasa sansekerta
“Sthiti”
3. Siwa, adalah
Tuhan yang berfungsi sebagai pelebur/penghancur.
Umat Hindu mempercayai Tuhan yang maha esa dengan
ajaran mereka tentang “Tripramana” yang terdiri dari tiga bagian yaitu:[6]
1) Pratyaksa pramana ialah cara
untuk melihat Tuhan dengan langsung, cara ini hanyalah dapat digunakan oleh
orang-orang suci saja, karena mustahil jika orang awam dapat melihat Tuhan/Sang
Hyang Widhi Wasa secara langsung.
2) Anumana pramana ialah melihat
Tuhan dengan cara menganalisa saja, walaupun Tuhan yang dibayangkan bukanlah
Tuhan yang sesungguhnya, tetapi dengan melihat alam semesta ini pastinya mereka
beranggapan bahwasanya Tuhan itu maha kuasa.
3) Agama pramana ialah dengan cara
mempercayai isi pustaka suci Agama Hindu. Umpamanya kitab suci Upanisad
menyatakan bahwa Sang Hyang Widhi adalah “telinga dari semua telinga; pikiran
dari semua pikiran; ucapan dari segala ucapan; nafas dari segala nafas; mata
dari segala mata”.
c. SEMBAHYANG
Kata “sembahyang” berasal dri bahasa Jawa Kuno. Sembah di sini berarti
menyayangi, menghormati, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri.
Sedangkan kata Hyang artinya “suci”. Jadi kata seembahyang berarti menyembah
yang suci untuk mnyerahkan diri pada yang hakekatnya lebih tinggi yaitu Tuhan.
Salah satu dari ritual ini yaitu upacara piodalan. Upacara ini
dilakukan dengan cara membagikan air suci atau thirta yang diawali dengan
memercikan pada bagian kepala sebanyak tiga kali , air suci ddi minum tiga
kali, serta air suci digunakan untuk membersihkan muka sebagai kesucian dan
anugrah Ida sang Hyang Widhi Wasa juga dibasuhkn tiga kali padda bagian muka.
Terakhir adalah nunas sekar disertai ucapan ‘Ong Kasumaduhadi jaya nama swaha’
yang maknanya anugrah dari sang Hyang widhi wasa.
Kata sembahyang dalam agama hindu yaitu sebuah
sebutan konsep ritual penyembahaan kepada tuhannya .
Urutan sembahyang :
– Sembah puyung (sembah tangan kosong)
– Menyembah sanghyang widhi sebagai sang hyang Aditya
Sarana : bunga
– Menyembah tuhan sebagai ista Dewata pada hari dan tempat
persembahyangan.
Sarana : kawangen
– Menyembah tuhan sebagai pemberi anugrah.
Sarana : bunga
Sarana : bunga
Melakukan perseembahyangan umumnya umat Hindu Bali menggunakan berbagai
sarana untuk memantapkan hatinya dalam melakukan perseembahyangan. Sarana itu
ada berupa bunga, buah, daun, api, dan juga thirta.
Dan makna dari sarana tersebut adalah:
1. Bungan,
melambangkan ketulusan dan keikhlasan yang suci dalam pikiran. Dan biasanya
disimbolkan dengan dewa Siwa sebagai sarana persembahyangannya.
2. Canang,
melambangkan penghormatan, karena benda yang bernilai tinggi.
3. Kawagen,
yaitu harum-haruman yang menyimbolkan untuk mengharumkan nama Tuhan.
4. Api, Melambangkan sumber kehidupan dewa Brahma yang menerangi dan
dharma-dharmanya membaka.
5. Tirta, yaitu sebagai air suci, yang menyimbolkan membersihkan diri dari
kekotoran pikiran.
6. Bija, yaitu berupa beras, abu suci, yang melambangkan sebagai benih
kehidupan yang suci.
7. Mantra, yaitu syair-syair yang terdapat di dalam Weda Sruti yang di
yakini sebagai perkataan Tuhan. Mantra ini bertujuan agar melindungi pikiran
dari hal-hal yang buruk.
Tujuan dari sembahyang yaitu sebagai pendidikan kita untuk memiliki sifat ihklas. Ihklas pada akikat nya merupakan
kebutuhan jiwa manusia. Karena apapun yang ada pada diri kita tidak ada yang
kekal, semua satu persatu atau bersama-sama akan pergi terpisah dengan diri
kita.
Karena pada
hakikatnya semua manusia akan mati dan semua yang kita cintai : istri,
anak-anak, ayah, ibu, saudara, sahabat, pimpinan yang baik, orang-orang yanh
kita kagumi seperti guru, pendeta yang suci, cepat atau lambat juga akan
berpisah dengan kita dan meninggalkan kita, maka dari itu kita di ajarkan untuk
bernuat ikhlas di dalam sembahyang ini.
Sembahyang pun berfungsi sebagai penentraman jiwa. Jiwa yang tentram adalah jiwa yang terlepas dari cemas, gelisah,
bingung, ragu-ragu dan kecewa. Nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai material
hanya akan dapat dirumbuhkan oleh manusia yang berjiwa tentram.
Persembahyangan
dilakukan dengan beberapa sikap yang dalam agama Hindu disebut Asana, ada
beberapa bentuk asana yang dipergunakan untuk melakukan desembahyang. Ada
seembahyang yang dilakukan dengan duduk, ada dengan berdiri seperti didalam
kelas bagi siswa dalam melakukan Tri sandhaya.
Sikap duduk ada
beberapa bentuk seperti padmasana. Yaitu sikap seembahyang yang duduk seperti teratai.
Asana ini dilakukan dengan menempatkan kaki kanan diatas paha kiri dan kaki
kiri di atas paha kanan, tulang punggung sampai kepala menjadi satu garis
tegak, sekujur tubuh dilemaskan.
Sembahyang pun
sebagai suatu cara untuk mengatasi perbudakan materi, karena di dalam
sembahyang kita diajarkan untuk ihklas, dermawan, dan juga untuk saling berbagi
dari sebagian harta yang kita punya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Sembahyang dapat
menumbuhkan cinta kita kepada Tuhan, karena pada hakikatnya jiwa kita ini
adalah milik Tuhan dan kita pun adalah sebagian dari Tuhan yang pada akhirnya
kita akan kembali kepada Tuhan.
http://hindu-budhadiindonesia2015.blogspot.com/2015/04/ajaran-hindu-dharma-tentang-ketuhanan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar