AJARAN BUDDHA
DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM
1. Penciptaan Manusia
Dalam agama Buddha,
manusia ada bukan merupakan hasil ciptaan, melainkan akibat dari proses yang
terjadi terus-menerus, sehingga akhirnya terbentuklah manusia. Proses
keberadaan manusia ini dipengaruhi oleh ajaran mengenai alam semesta. Adanya
manusia adalah dari proses cahaya yang nantinya akan lahir kembali dan berubah
dari suatu keadaan kepada keadaan lain, sampai adanya manusia. Keberadaan
manusia ini sangat dipengaruhi oleh sebab dan akibat.
Proses sebab akibat
ini dikenal dengan proses tumimba lahir. Proses tumimba
lahiradalah sebab musabab yang saling bergantungan. Proses ini berhubungan
dengan bagaimana mengatasi penderitaan hidup yang berulang-ulang, tanpa
mempedulikan asal-usul kehidupan yang pertama. Segala sesuatu yang terjadi
tergantung pada kejadian yang mendahului atau mengkondisikannya, inilah yang
disebut sebab. Manusia akan mengalami kelahiran kembali dan keadaannya akan
tergantung pada karmanya (perbuatannya) dikehidupan yang lalu.
Agama Buddha lebih
menekankan peranan manusia itu sendiri untuk mendatangkan hal-hal yang baik
atas dirinya sendiri maupun kejadian apa yang akan dialaminya (karma). Mengenai
nyawa, Buddha mengemukakan ajarana antta, yakni ajaran mengenai
tidak adanya nyawa, tidak adanya aku. Dunia yang ditanggapi oleh panca indra
ini bagi kita merupakan sejumlah makhluk-makhluk yang hidup dan
substansi-substansi yang mati. Sesungguhnya semua itu tidak ada, melainkan
hanya dharma, unsur-unsur keadaan atau tenaga-tenaga saja. Semua itu fana,
tidak ada satupun yang kekal. Inilah sengsara atau penderitaan kita, bahwa kita
ini tidak tahu akan hal itu (awidya). Kita harus belajar mengerti, bahwa
tiap-tiap makhluk hidup itu hanya suatu rangkaian kombinasi unsur-unsur yang
daripadanya segala sesuatu terdiri, rangkaian dharma-dharma.
Dharma-dharma itu
terbagi atas lima golongan yang disebut dengan skanda: Rupa, yaitu badan, yang
badani, benda (materi); Vedana berupa perasaan-perasaan; Samnya, berupa
angan-angan bayangan -atau tanggapan; Samskara, berupa tenaga penggerak,
kemauan atau nafsu-nafsu yang menyebabkan karma; Vinaya, yaitu mengenani
kejelasan atau kesadaran.
Kehidupan manusia
ini diibaratkan seperti rantai. Ada 12 mata rantai kehidupan manusia: Avijja (kebodohan
batin), Sankhara (bentuk-bentuk karma), Patisando
Vinarna(kesadaran), nama dan raga (batin dan jasmani) Salayatana (enam
landasan India),Phassa (kortex), Vidana (perasaan); Tantra (nafsu
keinginan); Upadana (melekat),Bhava (terus menjadi
tumbuh), jati (kelahiran); Jasa Marana (tua
dan mati).
2. Penciptaan Alam
Terbentuknya alam
semesta menurut ajaran Buddha berawal dari cahaya. Namun karena ketamakan diri
manusia, membuat alam semesta dan bumi ini terbentuk seperti sekarang ini. Hal
ini tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses yang panjang dan menghabiskan
waktu berabad-abad lamanya. Dalam prosesnya, alam semesta hanya terbentang ini
tidak terbatas dalam ruang dan waktu. Ada tiga susunan alam semesta, yaitu:
1. Alam hawa nafsu (kamavacara), alam ini terdiri dari
bahan-bahan kasar dan unsur-unsur bumi (api, air dan udara) yang didiami oleh
makhluk-makhluk berbadan kasar (jasmani).
2. Alam bentuk (rupavacara), alam ini didiami oleh
dewa-dewa yang masih memiliki badan yang lebih halus, tetapi tidak memiliki
hawa nafsu.
3. Alam yang tidak ada bentuk (arupavacara), pada alam
ini didiami oleh dewa-dewa yang tidak berbadan, artinya masuk kea lam ini
setelah pengheningan cipta (nibana).
Kisah kejadian alam
semesta dan manusia diuraikan oleh Buddha dalam Dighya Nikaya,Agganna
Sutta, dan Bahmajala Sutta. Dalam Agganna Sutta diterangkan
bahwa sebelum terbentuknya dunia baru yang ditempati manusia, dunia yang lama
mengalami kehancuran (kiamat). Setelah melewati satu masa yang lama sekali,
maka terbentuklah dunia yang baru. Dan seiring dengan itu, lahir pula makhluk-makhluk
yang mati di alam cahaya (ambhasara). Mereka lahir secara spontan
sebagai makhluk di bumi yang baru terbentuk itu. Makhluk tersebut hidup dari
ciptaan batin (manomaya), memiliki tubuh yang bercahaya dan
melayang-layang. Pada saat itu belum ada laki-laki dan perempuan, mereka hanya
dikenal sebagai makhluk saja.
Sebagian makhluk
memiliki tubuh yang indah, sebagian makhluk lainnya memiliki tubuh yang buruk.
Oleh karena hal ini, mereka memandang rendah makhluk yang bertubuh buruk,
sehingga sari tanah yang mereka makan lenyap. Selanjutnya, tumbuh-tumbuhan
menjalar, kemudian timbul sejenis padi purba, namun karena keserakahan dan
kemalasan mereka (menuai padi untuk disimpan lama), sehingga batang padi yang
dipotong tidak tumbuh lagi dalam waktu yang lama (masa menunggu).
Berdasarkan apa
yang mereka makan, bentuk tubuh mereka semakin padat, dan perbedaan tubuh
mereka semakin Nampak jelas. Wanita lebih jelas kewanitaannya (itthilinga)
dan laki-laki lebih jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Mulai sejak itu,
laki-laki memperhatikan wanita dan wanita memperhatikan laki-laki. Sehingga
muncullah nafsu birahi (indriya) yang membara. Sebagai akibat munculnya
nafsu ini, mereka melakukan hubungan seks yang kemudian menghasilkan keturunan.
(Sumber: Tony
Tedjo, Mengenal agama Hindu, Buddha, Khong Hucu, Pionir Jaya,
Bandung: 2011)
3. Hubungan Manusia
dan Alam
Pandangan ajaran Buddha terhadap alam (alam semesta)
Menurut sang
Buddha, bahwa sifat segala sesuatu adalah terus berubah (anicca). Begitu
pula dengan sifat alam. Alam bersifat dinamis dan kinetik, selalu berproses
dengan seimbang. Unsur-unsur alam yang tampak dalam pandangan Buddha ada empat,
yakni unsur padat (pathavi), cair (apo), panas (tejo),
gerak (vayo).
Hukum yang berlaku
pada alam(alam semesta) dapat dikategorikan dalam lima aturan yang
disebut panca niyamadhamma, yaitu utuniyama (hukum
fisika), bijaniyama (hukum biologi), cittaniyama (hukum
psikologis), kammaniyama (hukum moral), dhammaniyama (hukum
kausalitas).
Pandangan ajaran Buddha terhadap makhluk hidup (manusia dan hewan)
Makhluk hidup dalam
ajaran Buddha, terdiri dari manusia dan hewan. Tumbuhan tidak termasuk. Makhluk
hidup(manusia dan hewan) tersusun atas lima kelompok kehidupan yang disebut
lima khandha, yang terdiri dari rupa (wujud yang
tampak/badan jasmani), vedana (perasaan), sanna(pencerapan,mengingat), sankhara (keadaan-keadaan
pikiran), vinnana (kesadaran). Lima khandha ini secara ringkas
disebut jasmani dan batin (rupadan nama).
Sang Buddha
menyadari bahwa segala sesuatu yang berkondisi bersifat tidak kekal atau
selalu berubah-ubah (anicatta), tidak memuaskan atau menderita (dukkhata),
dan bersifat tidak mempunyai inti yang kekal (anattata). Jadi makhluk
hidup—manusia dan hewan— sebagai sesuatu yang berkondisi mempunyai sifat anicca, dukkha,
dan anatta.
Kesalingterkaitan makhluk hidup dan lingkungan (alam)
Sebagai awal untuk
memahami kesalingterkaitan makhluk hidup dengan alam, akan dijelaskan interaksi
antara manusia dengan hewan, hewan dengan alam, dan manusia dengan alam.
Setelah itu akan dibahas kesalingterkaitan keseluruhan, sehingga akan menjadi
jelas interaksi manusia-hewan-alam.
Sejak awal adanya
manusia, sudah terjadi interaksi antara manusia dan hewan. Awal peradaban maju
nenek moyang manusia adalah ditandai dengan ditemukannya api. Namun sudah sejak
lama, sebelum dimulainya peradaban manusia dalam mengenal api, manusia telah
berburu—sebuah interaksi dengan hewan. Bahkan peradaban selanjutnya, manusia
memanfaatkan hewan untuk diternak demi memenuhi kebutuhan hidup.
Interaksi manusia
dengan alam juga telah terjadi sejak dahulu kala. Manusia telah memanfaatkan
alam, untuk membuat alat berburu, atau dimulainya era bercocok tanam setelah
nenek moyang manusia hidup menetap. Selain itu manusia membutuhkan makanan,
air, udara yang bersih yang kesemuanya adalah bagian dari lingkungan tempat
manusia hidup.
Hewan dan alam juga
saling berinteraksi. Banyak hewan yang hidup dengan sumber makanan dari
alam(tumbuhan), dan banyak tumbuhan yang memerlukan bantuan hewan untuk
berkembang, seperti contoh serangga membantu penyerbukan bunga, kotoran atau
bangkai hewan yang mati menyuburkan tanah, dan sebagainya.
Terlihat dengan
jelas bahwa sejak dahulu manusia telah berinteraksi dengan alam dan hewan untuk
hidup. Sampai pada akhirnya—saat ini— interaksi tersebut malah merusak hewan
dan alam. Banyak spesies hewan yang telah punah, pencemaran air, udara,
dan tanah, perusakan lingkungan hidup dan hutan. Padahal manusia hidup di alam
dan membutuhkan alam untuk hidup, namun karena ketamakan manusia alam menjadi
hancur. Bahkan bukan hanya alam, hewan pun tidak terlepas dari jerat
keserakahan manusia. Perburuan liar terjadi di mana-mana hanya demi kepuasan
materi. Alam yang semakin hancur, telah berdampak negatif terhadap hewan.
Banyak hewan mati dan akhirnya punah karena lingkungan hidup mereka dirusak
oleh manusia. Lebih menyedihkan lagi, manusia masih belum sadar ataupun tidak
segera bertindak walaupun manusia telah mengetahui bahwa kehancuran lingkungan
akan menyebabkan kehancuran pada dirinya. Hutan yang semakin sempit, polusi
udara yang disebabkan kendaraan bermotor atau industri, membuat udara menjadi
terkotori dan semakin sulit dibersihkan, hingga akibatnya terjadi pemanasan
global yang pada giliran selanjutnya malah akan merugikan manusia sendiri. Jadi
perbuatan manusia terhadap hewan atau alam sebagai lingkungan hidup akan
mengakibatkan dampak yang akhirnya akan berbalik menghantam manusia.
Dari uraian di atas
jelas bahwa manusia, hewan dan alam(lingkungan) saling mempengaruhi. Ketika
salah satu bagian dari suatu sistem rusak, dampaknya akan dirasakan oleh
seluruh sistem tersebut, seperti rusaknya lingkungan akan mengakibatkan
kehancuran manusia pada akhirnya.
Kesalingterkaitan manusia-hewan-alam menurut ajaran Buddha
Setelah mengetahui
sifat dan unsur dari alam ataupun makhluk hidup menurut kacamata Buddhis,
sekarang akan ditinjau interaksi beserta hubungannya yang saling timbal-balik.
Telah dijelaskan bahwa alam maupun makhluk hidup memiliki sifat selalu berubah
atau berproses. Susunan wujud (rupa) manusia juga sama dengan alam
menurut ajaran Buddha, yakni tersusun atas unsur padat, cair, panas dan gerak.
Satu hal yang membedakan makhluk hidup(manusia dan hewan) dengan alam adalah
manusia dan hewan tersusun selain oleh wujud (rupa) juga oleh batin (nama),
sedangkan alam terbentuk hanya dari rupa.
Ajaran Buddha
memandang bahwa semua fenomena yang terjadi di alam semesta adalah saling
mempengaruhi dan berinteraksi. Semua yang terjadi berdasar hukum sebab-akibat
yang saling mempengaruhi. Dalam ajaran Buddha hubungan sebab-akibat yang saling
berinteraksi dan mempengaruhi ini disebut Paticcasamuppada.
Setiap sebab yang terjadi, baik itu dilakukan oleh manusia, hewan atau hukum
geologi akan mengakibatkan akibat yang dampaknya akan dirasakan kembali
oleh manusia, hewan, atau alam.
Sang Buddha
menyadari hal tersebut, sehingga beliau mengajarkan kepada umat manusia untuk
menghargai hewan maupun tumbuhan. Dalam Pancasilabuddhis aturan
pertama sang Buddha mengajarkan manusia untuk menghindari melukai/menyakiti
makhluk hidup. Sang buddha mengajarkan demikian dikarenakan beliau tahu
perlunya manusia menghargai hewan demi menjaga keseimbangan ekosistem. Beliau
juga mengajarkan manusia untuk menghargai tumbuh-tumbuhan. Jadi ajaran Buddha
memandang bahwa manusia, hewan, dan alam saling mempengaruhi dan berinteraksi.
Wujud kepedulian terhadap alam dalam ajaran Buddha
Walaupun hampir
keseluruhan ajaran Buddha menyoroti masalah terpenting manusia—tentang
bagaimana terbebas dari penderitaan—yang dapat ditemukan pada teks-teks Pali,
sang Buddha secara tersirat menyampaikan wujud kepedulian terhadap lingkungan
hidup manusia(alam). Telah disebutkan di atas bahwasanya sang Buddha melihat
segala fenomena kehidupan mengandung ciri terus berubah dengan proses
sebab-akibat yang saling mempengaruhi, dan beliau juga mengajarkan manusia
untuk menghargai hewan dan alam, maka dapat dikatakan bahwa sang Buddha
menyadari ketika seseorang menjadi tidak menghargai hewan atau alam, akibatnya
juga akan merugikan dirinya sendiri.
Sang Buddha
memahami bahwa penghargaan terhadap hewan dan lingkungan adalah penting. Beliau
mengajarkan metta, sebagai wujud aktif dalam menghargai
hewan dan karuna, sebagai wujud nyata kepedulian
terhadap hewan. Sang buddha selain melarang para Bhikkhu merusak
tanaman dengan memetik, juga melarang mengotori lingkungan. Itu artinya bahwa
sang Buddha sangat memperhatikan lingkungan hidup dan alam karena beliau tahu
bahwa manusia hidup memerlukan alam.
Mungkin
permasalahan lingkungan pada zaman sang Buddha belum begitu mengkhawatirkan
sehingga sedikit yang disinggung oleh sang Buddha. Namun, dari ajaran-ajaran
beliau secara tersirat beliau mengajarkan manusia untuk menghargai lingkungan
karena tanpa adanya lingkungan yang baik, seseorang tidak dapat mencapai
kesucian batin. Sang Buddha mengajarkan manusia melihat ke dalam diri sendiri
melalui meditasi, dan karena diri sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari
alam semesta, maka ketika seseorang dengan pandangan terang melihat dirinya, ia
juga telah melihat keseluruhan alam semesta yang saling berinteraksi dan
mempengaruhi.
Tulisan singkat
yang penulis paparkan adalah telaah awal terhadap ekologi dari sudut pandang
ajaran Buddha. Diharapkan tulisan berikut sebagai pemacu perkembangan buddhisme
di Indonesia dalam menyoroti berbagai disiplin ilmu lainnya, seperti sosiologi
buddhis, antropologi buddhis, ekonomi buddhis, dan sebagainya.
Harapan penulis
adalah setelah pembaca memahami tulisan ini, timbul kesadaran dalam menghargai
lingkungan dan berusaha menyadari setiap tindakannya saat ini, sehingga setiap
tindakan yang dilakukan tidak merusak lingkungan hidup manusia. Tulisan ini
hanya akan menjadi sebuah tulisan kosong yang tidak berarti jikalau pembaca
hanya sekedar paham tanpa disertai tindakan nyata.
http://hindudanbuddhadiindonesia20142.blogspot.com/2014/06/ajaran-buddha-dharma-tentang-manusia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar