AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG KETUHANAN
Konsep Ketuhanan Buddha Dharma
Tak dapat dikatakan bahwa didalam ajaran agama buddha seperti yang
terdapat didalam kitab pitaka terdapat ajaran tentang tuhana atau tokoh yang
dipertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu tuhan. Melainkan
unuk masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa
perasaan, tanpa keinginan tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak
lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi damai.
Oleh karen itu ada ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui, bahwa
buddhisme adalah suatu agama. Buddhisme adalah suatu falsafah, suatu usaha akal
manusia untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai
sebab dan akibat[1].
Akan tetapi pendapat yang demikian adalah keliru. Memang harus diakui bahwa
sebutan tuhan atau tokoh yang dipertuhan tidak ada. Yang ada adalah nirwana,
pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang memadamka. Tak ada gagasan tentang
suatu pribadi yang ada dibelakang suasana damai itu. Tak ada gagasan tentang
pemberi hukum, tata tertib, baik yang alamiah mauun yang moril. Tiada gambaran
tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian, dibelakang segala
pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan yang dipertuhan
tadi.
Ajaran agama-agama
tentang keyakinan terhadapa tuhan yang maha esa berbeda-beda. Sekalipun
tampaknya ada hal-hal yang bertentangan terdapat pula hal-hal yang sama, yaitu
dia adalah yang mutlak, yang sering dipahami dan dialami sebagai misteri,
rahasia yang mengatasi dunia.
Buddha mengajarkan
ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau
oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan sendirinya
nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas. Dalam agama buddha
tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat
antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme
(pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia).
Buddha tidak
mengajarkan teisme fatalistis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan
adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk. Teisme semacam itu
mengingkari kehendak bebas manusia dan dngan sendirinya swajarnya juga
meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia .
·
Buddha Trasenden
Bagi mereka yang
menganggap buddha dilahirkan sebagai orang hindu dan meninggal juga sebagai
orang hindu, buddha adalah salah satu awatara. Awatara berarti ititsan atau
perwujudan tuhan yang maha esa dalam memulihkan ketentraman dunia. Kitab purana
menyebutkan ada 10 awatara, dan buddha adalah awatara yang kesembilan[2].
Thuben chordon
melihat ada tiga cara pandang mengenai siapa sebenarnya buddha. Cara yang
pertama, melihatnya sebaagai buddha historis, yang dilahirkan sebagai manusia
yang kemudian meninggal dunia. Ia seorang penunjuk jalan, yang sekaligus
memberi contoh kepada manusia. Cara yang kedua adalah dengan memahami buddha
sebagai manifstasi keluhuran yang trasenden, yang muncul dalam berbagai bentuk
dan simbol untuk berbagai fungsi. Ada banyak buddha yang masing-msing menonjolkan
salah satu aspek dari nilai-nilai kebuddhaan. Hakikat dari semua manifestasi
yang beragam sesungguhnya adalah sama. Cara yang ketiga memahaminya sebagai
buddha masa mendatang, yang muncul dalam diri kita, karena kita semua memiliki
potensi untuk menjadi buddha.
·
Trikaya
Hakikat kebudhaan
dharmakaya yang absolut. Yang mutlak ini bersifat kekal, meliputi segalanya,
tidak dibatasi olh ruang dan waktu, bukan realitas personifikasi, esa, beban
dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sedirinya, bebas dari pertalian sebab
akibat. Tubuh dharma ini disebut juga rahim tathagata (tathagata garbha).
Keterlibatan dalam
dunia yag bersifat relatif dimungkinkan jika buddha mengambil bentuk yang
berwujud dan tampak secara fisik sehingga dapat dipahai dan diterima oleh segala
makhluk. Dengan car itu buddha bekerja untuk menyelamatkan dunia[3].
Tubuh yang tampak tersebut adalah sambhogakaya dan nirmanakaya. Sambhogakaya,
yaitu tubuh rahmat aatu tubuh cahaya, sering dinyatakan dalam perwujudan surgai
yang dapat dilihat oleh makhluk surga dan boddhisatwa. Seorang buddha menyadari
kebuddhaan dengan memiliki tubuh ini. Buddha memiliki tubuh cahaya untuk
mengajar para boddhsatwa. Nirmanakaya yaitu tubuh perubahan yang dapat dilihat
oleh manusia. Dipakai untuk mengajar manusia biasa. Buddha gotama sebagai
buddha historis adalah wujud nirmanakaya.
·
Adi Buddha
Dalam agama buddha
terdapat banyak buddha, tetapi hanya ada satu dharmakaya. Dharmakaya yang
merupakan sumber perwujudan panca dhyani buddha dinamakan adi buddha. ”buddha
tanpa awal dan akhir adalah adi buddha”[4].
Sebutan adi buddha berasal dari tradisi aisvarika (isvara, tuhan,
maha buddha), aliran mahayana di nepal, yang menyebar lewat benggala, hinnga
dikenal pula di jawa.
Adi buddha
merupakan buddha primordial, yang esa atau dinamakan juga paramadhi buddha
(buddha yang pertama dan tiada banding). Adi buddha timbl dari kekosongan
(sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut visvarupa
serta namanya pun tidak terbilang banyaknya. Adi buddha sering diidentifikasikan
sebagai salah satu buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami
arti dari setiap sebutan yang maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan
sebagainyayang bermacam-macam, sama menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
Konsep adi buddha terdapat
dalam kitabnamangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha vairocanabhisambodhi
sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan paramadi buddhodharta sri
kalacakra sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab namangsiti versi
chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari zaman
pemerintahan mpu sendok.
Walau umat buddha
menyebut tuhan yang maha esa dengan nama yang berbeda-beda. Undang-undang RI
no.43 tahun 1999 (perubahan atas UU no. 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok
kepegawaian), sebagaimana peraturan pemerintah RI no. 21 tahun 1975
(tentang sumpah/janji pegawai negri sipil), menyatakan dalam pengucapan sumpah
atau janji bagi mereka yang beragama buddha, kata-kata “demi allah” diganti
dengan “demi sang hyang adi buddha”[5].
·
Manifestasi Keyakinan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Keyakinan terhadap
tuhan yang maha esa dengan sebutan atau nama yang berbeda-beda adalah pengakuan
akan kebesaran tuhan yang tak dapat dijelaskan secara tepat . tingkat pemahaman
akan hakikat tuhan bisa berbeda-beda pada setiap manusia. Keyakinan ini membawa
konsekuensi kepada kita untuk bersikap saling menghormati, toleran, memelihara
kerukunan dan bekerjasama antar pemeluk agam dan penganut kepercayaan yang
berbeda, apalagi antar sekte.
Keyakinan bahwa
tuhan yang maha esa mengatasi dunia, mendorong agar kita mengembangkan
pemahaman, hingga mampu membebaskan diri dari semua rintangan duniawi, melalui
penembusan bodhi, untuk sapai kepadanya. Karena tuhan yang maha esa itu juga
maha tinggi, maha luhur, maha suci, maha sempurna, manusia yang percaya dan
memujanya akan selalu mencinati segala sifat-sifatnya yang mulia, mengembangkan
sifat-sifat itu dalam diri masing-masing. Salah satunya brahma vihara atau
kediaman luhur yang bisa diarikan sebagai rumah tuhan yaitu cinta kasih
(metta), welas asih (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin
(upekkha).
Keyakinan terhadap
tuhan yang maha esa sebagai kebenaran mutlak atau dharma yang mnguasai dan
mengatur alam smesta, serta melindungi mereka yang melaksanakan kebenaran
membuat kita selalu menjauh kejahatan dan tidak menentang hukum alam. Menyadari
kehadirannya yang tidak dibatasi ruang dan waktu, membuat kita senantiasa merasa
dekat dengannya dalam kehidupan sehari-hari, didunia luar hingga hati.
Beriman itu membuat
seorang buddha dengan mantap memiliki kekuatan, selalu berusaha untuk
meninggalkan hal-hal yang baik,bersemangat sekuat tenaga melatih dan tidak
melepaskan tanggung jawab. Kebjikan orang yang memilii keyakinan harus dapat
dikenali dari tiga hal, ia berhasrat untukmenemui orang-orang yang bijaksana,
berhasrat untuk mendengarkan dharma, dan dengan hati yang bebas dari
keserakahan, ia hidup dengan murah hati, bekerja tanpa suka mencela, suka
berdana, suka menolong, dan berbagi dengan orang lain.
Berdasarkan uraian
diatas, bahwa untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu
dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua
cara pendekatan. Pertama, tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena
itu, tidak jarang dijumpai istilah tuhan melihat umatnya, atau tuhan mendengar
doa umatnya serta masih banyak lainnya.
Pendekatan kedua,
tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, tuhan marah, tuhan cemburu,
tuhan mengasihi, tuhan adil, serta masih banyak istilah sejenis lainnya.
Berbeda dengan yang telah disampaikan, ketuhanan dalam agama buddha tidak
menggunakan kedua cara di atas. Agama buddha menggunakan aspek nafi atau
penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi,
pengertian nibbana atau tuhan dalam agama buddha adalah yang tidak terlahirkan,
yang tidak menjelma, yang tidak bersyarat, yang tidak kondisi. yang tidak
terpikirkan, serta masih banyak kata tidak lainnya. Secara singkat, tuhan atau
nibbana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda
ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala
sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya,
seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada
orang yang sama sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang
itu bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya,
apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin
terceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah
dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah
melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan
kepada penuh pengertian.
B. Konsep Bhakti Puja dalam Buddha Dharma
Banyak orang sering
menyebutkan secara keliru bahwa umat buddha melakukan sembahyang di vihara.
Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah sembahyang yang
sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu sembah berarti menghormat dan hyang
yaitu dewa. Dengan demikian, sembahyang berarti menghormat, menyembah para
dewa. Apabila sembahyang diartikan seperti itu, maka umat buddha sesungguhnya
tidak melakukan sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang menghormat maupun
menyembah para dewa. Umat buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga,
namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat buddha juga tidak berdoa karena
istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika
seseorang sedang berdoa[6].
Umat buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada arca sang buddha maupun
kepada pihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat buddha bukanlah
penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada
arca sang buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia lainnya.
Daripada disebut sembahyang maupun doa, umat buddha lebih sesuai dinyatakan
sedang melakukan puja bakti. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata puja yang
bermakna menghormat dan bakti yang lebih diartikan sebagai melaksanakan ajaran
sang buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam melakukan
puja bakti, umat buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman
sang buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan
tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada
lambang sang buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan
bersujud ini dilakukan karena sang buddha berasal dari India. Sudah menjadi
tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika
seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud
yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak
dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.
Karena bersujud di
depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para
umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak
berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca
tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk bersujud.
Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih
besar untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap rendah hati.
Setelah memasuki
ruangan dan bersujud, umat buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah
disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada
dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang buddha.
Diharapkan dengan pengulangan kotbah sang buddha, umat mempunyai kesempatan
untuk merenungkan isi uraian dhamma sang buddha serta berusaha melaksanakannya
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal
dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang
buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan,
ucapan maupun pola pikirnya.
Salah satu contoh
yang paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca karaniyametta Sutta
di vihara. Sutta atau kotbah sang buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran
penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang
berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan
sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan
pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih
sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut
bahwa jangan karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian
baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan
mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang
akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang
tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan
dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan
selalu membawa kebahagiaan untuk lingkungannya.
Itulah makna
sesungguhnya dari pengertian puja bakti yaitu menghormat dan melaksanakan
ajaran sang buddha. Sekali lagi, umat buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang.
Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat buddha mempunyai
keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya dan
sebagainya. Jika demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat buddha agar
keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat tercapai?
Untuk mencapai
keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat buddha disarankan untuk melakukan
kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah
berbuat kebajikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut
agar memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan.
·
Berdoa Bukan Meminta
Doa yang paling
sering kita dengar adalah berbagai jenis permohonan. Kalaupun mengandung
pujian, biasanya diikuti dengan permintaan. Ketika menghadapi penderitaan,
kesulitan dan ketakutan, banyak orang berdoa meminta pertolongan. Seperti dalam
mite rahu, sang surya berdoa saat gerhana matahari. Doa dalam mora
parita juga memohon pertolongan dan perlindungan. Ini tidak salah,
tetapi sembahyang atau doa saja tidak cukup untuk memecahkan masalah[7].
Kepada anathapindika, buddha pernah mengemukakan bahwa kebanyakan orang
mendambakan panjang usia, kecantikan, kebahagiaan, kehormatan dan alam surga.
Kelima hal itu tidaklah tercapai hanya dengan berdoa. Untuk mencapai apa yang
diinginkan janganlah bergantung pada doa atau bersikap pasrah tak berdaya, tapi
ia harus berusaha menempuh jalan kearah itu. Setiap orang dapat merubah
nasibnya dengan berusaha melakukan apa yang terbaik.
Sehari-hari dapat
kita lihat orang yang meminta agar keinginannya dipenuhi orang lain bersikap
merendah atau juga menjilat hingga menyogok, dan menuntut. Jika doa diartikan
meminta, dan ternyata yang diharkan sesorang tidak terkabul, mungkin timbul
kemudian rasa jengkel dan kecewa. Bagi seorang buddhis, rahmat dan berkah
tuhan, kasih buddha, perlindungan tritana tidak hanya bagi orang yang meminta.
Tanpa meminta, apa yang diharapkan pasti akan datang pada waktunya sebagai buah
dari perbuatan (karma). Karena itu orang berdoa seraya mawas diri, buddha
selalu melindungi, buddha selalu memancarkan kasih sayangnya yang tidak
terbatas.
Contoh doa dalam
syair shanti deva (abad ke 7)[8].
Semoga aku menjadi penwar rasa sakit bagi semua makhluk
Semoga aku menjadi dokter dan perawat bagi semua orang sakit
Semoga aku dapat memberi makan dan minum semua yang menderita lapar dan
kehausan
Semoga aku menjadi mestika yang tak ternilai bagi orang-orang miskin
Smoga aku menjadi pembela bagi mereka yang dicampakan terlantar
dipinggir jalan
Semoga aku menjadi perahu dan titian bagi mereka yang merindukan pantai
sebrang
Semoga aku menjadi elita penerang bagi mereka yang tersesat jalan.
Shanti deva tidak
berdoa agar menjadi kaya, tatapi apa yang diharapkannya jelas tidak akan
tercapai tanpa kekayaan. Doanya bukan meminta, malah menunjukan untuk bisa
memberi.
·
Parrita dan Mantra
Parrita adalah
bacaan perlindungan yang dalam pengertian sekarang disamakan dengan doa.
Pembacaan parita bermula dari petunjuk buddha kepada siswanya untuk mengucapkan
bacaan tertentu agar terhindar dari kesulitan atau telindung dari kejahatan.
Misalnya angulimala parrita yang dibacakan menjelang suatu
persalinan. Berasal dari formula pernyataan kebenaran dan doa agar ibu dan
bayiny selamat, yang diajarkan oleh buddha gotama kepada angulimala untuk
menolong perempuan yang menghadapi kesukaran melahirkan.
Selanjutnya adalah
mantra. Mantra adalah rumusan mistis suku-suku kata yang dipandang suci dan
mengandung kekuatan gaib. Pada mulanya sebuah sutra panjang diringkas menjadi
beberapa bait kalimat yang disebut hrdaya (ikhtisar). Hrdaya
ini diringkas menjadi dharani yang hanya terdiri dari satu atau dua baris
kalimat, yang selanjutnya diringkas lagi menjadi mantra yang terdiri dari
beberapa suku kata.
Konsep mantra
berkembang dai keyakinan agar kegunaan suara (sabda) sebagai sumber suatu
kekuatan atau bahkan sebagai kekuatan itu sendiri yang memiliki pengaruh kuat
terhadap diri manusia dan alam semesta. Agar suatu mantra menjadi efektif
setelah dibaca berulang-ulang dengan mulut atau dengan hati, ia harus
dibangkitkan didalam kesadaran seorang melalui integrasi psiofisik dan meditasi
yang mendalam. Tanpa konsentrasi mendalam dan meditasi, mantra tidak memiliki
kekuatan[9].
·
Persembahan
Berdoa (bhakti
puja) dapat dilakukan secara pribadi atau bersama. Dalam suatu upacara, berdoa
dapat dilakukan dengan ataupun tanpa mempersembahkan sajian. Untuk melakukan
upacara persembahan karena buddha dan boddhisattwa mwmwrlukan persembahan itu.
Tidak juga suatu persembahan dimaksudkan untuk mengambil hati mereka. Memberi
persembahan bukan keharusan, tetapi biasany dilakukan sebagai cara untuk mengembangkan
potensi batin dan melatih pikiran kita. Lewat persembahan kita mengikis
egoisme, melenyapkan kemelekatan dan kekikiran. Kita membiasakan diri untuk
memberi apa yang terbaik dengan terimakasih yang tulus, gembira berbagi, tanpa
merasa kehilangan. Para buddha dan boddhisattwa menerima persembahan tanpa
membawanya pergi.
Setiap sajian yang
dipersembahkan memiliki makna simbolik. Pelita atau lilin melambangkan
penerangan, menghapus saput kegelapan dan ketidaktahuan. Air selain
membersihkan juga melambangkan kerendahan hati. Dupa yang harum dengan asap
membumbung keatas mengingatkan kepada harumnya nama baik dan kebajikan menyebar
kemana-mana hingga ke surga. Bunga mengingatkan ketidak kekalan sehingga kita
terdorong untuk mencapai kebebasan.
Daftar Pustaka
Ali, Mukhti.H.A, Agama-agama di Dunia.Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press.1988.
Mukti, Krishanda Wijaya, Wacana Buddha
Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan. 2006.
Tanggok, M. Ikhsan, Agama Buddha. Jakarta:
Lembaga Penelitian Uin Jakarta. 2009.
Hadiwijono, Harun, Agama Hindu dan
Buddha, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. 1987.
Mahatera, Narada.Sang Buddha danAjaranya.Jakarta:
Yayasan Dharmadipa Arama 1994.
[9] Suwarto T.
Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana indonsia, 1995,
h. 121-122.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar